loading...

Rabu, 13 Juli 2016

Cerita Al-Qur'an dibakar. Salah siapa???!


Gila!” rutukku sesaat setelah membaca berita pembakaran Al-Quran yang dilakukan dua pendeta di Amerika. “Ini gila! Kita harus perang! Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan caci-maki-ku keluar tanpa kontrol.


Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapanku! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.


Napasku turun naik, mataku memerah, tanganku mengepal. “Terkutuklah kau!” teriakku lantang.


“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.


Tiba-tiba aku tersentak. Dimana al-quran ku?

“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan kembali memenuhi ruang kesadaranku. Tetapi kini aku tak bisa marah lagi, ada perasaan sedih dan kecewa mengaduk-aduk dadaku. Ada sesak yang tertahan, semantara isak tangis tak sanggup aku tahan.


Akhirnya aku menyerah. Aku tak menemukan Al-Quranku di mana-mana di setiap sudut rumahku!


Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, “Jadi, kenapa kau mesti marah saat ada orang yang membakar dan menginjak-injak Al-Quran? Lucu! Ini lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri tak mempedulikannya selama ini?”


Aku terus menangis. Dadaku berguncang. Tuan Setan tertawa. “Jadi, mengapa kau mesti mengutuk mereka yang menyia-nyiakan dan merendahkan Al-Quran sementara kau sendiri melakukannya—diam-diam?” katanya sekali lagi. Ada perih yang mengaliri dadaku, mendesir gamang ke seluruh persendianku.


Tiba-tiba aku ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah. Barangkali Al-Quranku ada di situ!


Aku bergegas bangkit dari tubuhku yang tersungkur, aku berlari menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu menyaksikan tumpukan barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah kotak tersimpan di sudut ruang gudang, aku segera ingat di situlah aku menaruh buku-buku bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika aku hamburkan isi kotak itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… Aku mendapatkannya: Al-Quranku!


Aku menatap Al-Quranku dengan tatap mata rasa bersalah. Aku mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari debu yang melekat di mushaf tua itu. Kemudian aku mendekapnya erat-erat—mengingat masa kecilku belajar mengeja huruf hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dadaku bergemuruh, air mataku menderas.


Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek.

“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu mengatakan bahwa Al-Quran adalah buku yang penuh kebencian, itu karena mereka menilainya dari perilaku yang kalian tunjukkan! Bila mereka mengira Al-Quran hanyalah kitab omong kosong dan Muhammad adalah nabi palsu yang berbohong tentang firman, bukankah itu karena kau—kalian semua—tak pernah sanggup menunjukkan keagungan dan keindahannya?”

Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar? Mengapa kau tak memarahi dirimu sendiri saat kau menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini bukan semata-mata soal pendeta yang membakar Al-Quran, ini bukan semata-mata soal pelecehan terhadap agamamu, ini bukan semata-mata soal permulaan dari sebuah peperangan antar-agama, ini semua tentang kau yang selama ini menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang menyiapkan api dan bensin dari perilaku burukmu untuk menunggu Al-Quran dibakar orang-orang yang membenci agamamu! Mereka tak akan berani membakar Al-Quran kalau saja selama ini kau sanggup menunjukkan nilai-nilai agung yang dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan yang termaktub dalam teks suci kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak sanggup menggemakan Al-Quran amanat nabimu ke segala penjuru, tak sanggup menerima cahayanya dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu!


Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang teronggok sia-sia di lemari, diletakkan di paling bawah tumpukkan buku-buku, Al-Quran yang kesepian tak tersentuh di masjid dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca dan disia-siakan!


Aku menangis. Memanggil kembali hapalan yang entah hilang kemana, mengeja kembali satu-satu alif-ba-ta yang semakin asing dari kosakata hidupku. Aku melacaknya dalam ingatanku. Di manakah Al-Quran dalam diriku?


Aku terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?!


Aku terus menangis.

Ini kesalahan ku, kesalahan umat yang mengaku muslim tapi mengabaikan al-quran. Memilih membaca buku-buku lain sedangkan al-quran adalah sebaik-baiknya bacaan. Ini kesalahan ku, kesalahan umat yang mengaku muslim tapi memilih bersenang-senang daripada mengkaji isinya dan membiarkan mereka, umat lain, membakar kitab suci itu!



Mana al-quran mu?


Sudahkah kau membacanya hari ini??